Jumat, 06 Maret 2015

Pengertian pernikahan, tujuan, hikmah dan dalil al-qur'an hadits yang menjadi landasan hukumnya




PENGERTIAN PERNIKAHAN, TUJUAN, HIKMAH DAN DALIL AL-QUR’AN HADITS YANG MENJADI LANDASAN HUKUMNYA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
 Pada Mata Kuliah Fiqih (Tafsir Ahkam) -3 Di Semester V-C



Di susun oleh:
Siti Aisah
NIM:2012.112.01.2101


Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Qurrotul ‘Ainiyah, M.HI


PRODI S-1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL URWATUL WUTSQO-JOMBANG
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pernikahan
Nikah, menurut bahasa: al jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-zawaj yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zawaj) bermakna menyetubuhi istri. Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut bahasa berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum untuk tumbuhan, hewan, manusia dan menunjukan proses generative secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena memgandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat dan terutama menurut agama.
Adapun menurut syarak: nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainya dan untuk membrentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fiqih berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan didalamnya mengandung kata inkah atau tazwij. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang ditulis Zakiah Darajat dkk yang memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: “akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya”.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab 1 pasal 1 disebutkan bahwa: perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Pendapat Syafi’iyah yang paling shahih mengenai pengertian nikah secara syar’I adalah bahwa kata itu dari sisi denotatif bermakna akad sedang dari segi konotatif bermakna hubungan intim sebagaimana disinggung al-Qur’an maupun as-sunnah kata nikah dalam firman Allah “sebelum dia menikah dengan suami yang lain” (QS. Al-Baqarah:230) maksudnya adalah akad sedangkan makna hubungan intim diambil dari hadits al-Bukhari dan muslim, “sebelum engkau mengecap madunya”[2]
B.     Dasar Hukum Nikah
Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan,bahkan oleh tumbuh-tumbuhan. Bahwa segala sesuatu di dunia ini terdiri dari dua pasangan. Misalnya, air yang kita minum terdiri dari oksigen dan hydrogen, listrik ada positif dan negative dan lain sebagainya.[3] Sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an sebagai berikut:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ [4]
Artinya: dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.[5]

Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara’. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا[6]
3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[7]

Firman Allah:
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ [8]
Artinya: dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui[9].

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [10]

71. dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[11]

Rasulullah Saw bersabda:
عن عبد الله بن مسعود رضى الله عنه قال: قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم : يا معشر الشباب من استطاع منكمم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه با لصوم فانه له وجاء
“ibnu mas’ud r.a berkata : Rasulullah Saw bersabda kepada kami: Hai para pemuda, apabila diantara kamu mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampumaka hendaklah ia berpuasa sebab puasa itu menjadi penjaga baginya ”.(HR. Bukhari-muslim)

Perkawinan pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat maslahatnya. Meskipun asal hukumnya adalah mubah, namun dapat berubah menurut ahkamal khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan:[12]
1.      Nikah wajib, nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram.
2.      Nikah haram, nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal dan kewajiban batin seperti mencampuri istri atau berniat untuk menyakiti perempuan yang dinikahi.
3.      Nikah sunnah, nikah disunnahkan bagi orang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram.
4.      Nikah mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan dan dorongan unuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.
5.      Nikah makruh yaitu bagi orang yang tidak bisa memberi nafkah.
C.     Tujuan Pernikahan
Kompilasi hukum islam merumuskan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah yaitu rumah tangga yang tentram, penuh kasih sayang serta bahagia lahir dan batin. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Ar-ruum ayat 21 yang artinya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ [13]
Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[14]

Tujuan pernikahan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis yang menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas meliputi segala aspek kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupun batiniah. Sesungguhnya pernikahan itu ikatan yang mulia dan penuh barakah. Allah SWT mensyari’atkan untuk keselamatan hambanya dan kemanfaatan bagi manusia agar tercapai maksud dan tujuan yang baik.[15]
Zakiyah Darajat dkk mengemukakan lima tujuan dalam pernikahan yaitu:
1.      Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
2.      Memenuhi hajat manusia menyalurkan syhwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
3.      Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan
4.      Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab
5.      Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Pernikahan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga merupakan salah satu diantara lembaga pendidikan informal, ibu bapak yang dikenal pertama oleh putra putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan yang dirasakannya, dapat menjadi dasar pertumbuhan pribadi/kepribadian putra putri itu sendiri.
Sebagaimana sabda nabi muhammad Saw:
“tiada bayi yang dilahirkan melainkan lahir diatas fitrah maka ayah dan ibundanya yang menjadikan ia yahudi nasrani atau majusi”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Sulaiman al-Mufarraj dalam bukunya bekal pernikahan menjelaskan bahwa ada 15 tujuan pernikahan yaitu:
1.      Sebagai ibadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT.
2.      Untuk ‘iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang)
3.      Memperbanyak umat Muhammad Saw.
4.      Menyempurnakan agama
5.      Menikah termasu sunnahnya para utusan Allah
6.      Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu mereka saat masuk surga
7.      Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinaan dan lain sebagainya.
8.      Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga.
9.      Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkaran keluarga.
10.  Saling mengenal dan menyayangi
11.  Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri
12.  Sebagia pilar untuk membangun rumah tangga islam yang sesuai dengan ajaran-Nya
13.  Suatu tanda kebesaran Allah SWT
14.  Memperbanyak keturunan umat islam dan menyemarakkan bumi melalui proses pernikahan
15.  Unuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan kepada hal-hal yang diharamkan.
D.    Hikmah Pernikahan
Sejalan dengan tujuannya pernikahan memiliki sejumlah hikmah bagi orang yang melakukannya. Dalam ensiklopedi tematis dunia islam, serta menurut sayid sabiq, ulama fiqih kontemporer dalam bukunya fiqh as-sunah mengemukakan sebagai berikut:[16]
1.      Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji
Bagi manusia naluri tersebut sangat kuat dan keras serta menuntut adanya penyaluran yang baik. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya. Dengan perkawinan, kehidupan manusia menjadi segar dan tentram serta terpelihara dari perbuatan keji dan rendah.
2.      Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat sehingga dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia.
3.      Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan rumah tangga bersama anak-anak
4.      Melahirkan organisasi dengan pembagian tugas/tanggung jawab tertentu,serta melatih kemampuan bekerjasama
5.      Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturrahmi antar keluarga







[1] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2010), 7
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, (Jakarta: Almahira, 2010), 449
[3] Tihami dan Sohari Sahrani, Op.Cit,  9
[4] Al Qur’an [51:49]
[5] Al Qur’an Tafsir Per Kata, Al Hidyah(Banten:PT Kalim,2011), 523
[6] Al Qur’an [4:3]
[7] Qur’an Tafsir Per Kata, Al Hidyah(Banten:PT Kalim,2011),78
[8] An Nur[24:32]
[9] Qur’an Tafsir Per Kata, Al Hidyah(Banten:PT Kalim,2011),355
[10] Al Qur’an [9:71]
[11] Qur’an Tafsir Per Kata, Al Hidyah(Banten:PT Kalim,2011),199
[12] Moh saifulloh al Aziz, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang, 2005), 473
[13] Al Qur’an [30:21]
[14] Qur’an Tafsir Per Kata, Al Hidyah(Banten:PT Kalim,2011), 407
[16] Tihami dan Sohari Sahrani, Op.Cit,  19